Indonesia Sebagai Net Eksportir Pelat Baja:
Tinjauan Strategi ke Depan
Oleh: IISIA
Dalam kondisi industri baja nasional yang semakin terpuruk akibat pandemi COVID-19, dimana rata-rata utilisasi pabrik baja turun hingga menyentuh angka 20-40%, terdapat kelompok industri baja yang tetap menunjukkan kinerja baik dan konsisten, yaitu hot rolled plate. Produsen hot rolled plate, atau lebih dikenal dengan pelat baja, nasional mampu mempertahankan utilisasi pabrik di level normal, serta memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
IISIA mencatat bahwa saat ini kapasitas total untuk memproduksi pelat baja adalah 2,5 juta ton per tahun— yang merupakan gabungan kapasitas terpasang empat produsen pelat baja nasional, yakni PT Krakatau Posco, PT Gunung Raja Paksi Tbk, PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk, dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Kapasitas terbesar dimiliki oleh PT Krakatau Posco, yaitu 1,5 juta ton per tahun.
Produksi pelat baja nasional terus membukukan tren positif sejak tahun 2015, meski sempat turun di 2018 akibat perang tarif antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok, sebelum kembali naik di tahun 2019 (Gambar 1).
Gambar 1 Produksi, Impor, Ekspor, dan Konsumsi Pelat Baja Tahun 2015-2019
Bila berbasis kapasitas total 2,5 juta ton, maka tingkat utilisasi pabrik pelat baja nasional diperkirakan berada pada level 65-70% di periode lima tahun terakhir. Meningkatnya penggunaan pelat baja di berbagai industri, misalnya manufaktur, konstruksi, pertambangan dan perkapalan, berdampak pada kenaikan konsumsi domestik. Dalam kurun waktu 2017-2019, konsumsi domestik pelat baja berada pada rentang 1,5-1,6 juta ton per tahun. Selain peningkatan konsumsi domestik, performa ini tampaknya tidak lepas dari volume ekspor yang kian melambung. IISIA mengamati bahwa mulai dari tahun 2015, volume ekspor pelat baja secara konsisten sudah lebih besar daripada volume impor—dengan selisih mencapai 300 ribu ton di 2019. Di sisi lain, proporsi ekspor dibandingkan total produksi nasional saat ini sudah meningkat hingga ke level 35-40% (Tabel 1).
Tabel 1 Analisis Net Ekspor dan Rasio Ekspor terhadap Produksi
Sumber: SEAISI,IISIA
Dengan mencermati data ekspor pelat baja tahun 2019, terlihat bahwa pengembangan pasar ekspor cukup mapan—tampak dari luas dan beragamnya cakupan wilayah negara tujuan ekspor. Dari total volume ekspor sebesar 778 ribu ton, sekitar 60% diserap oleh pasar ASEAN dan Asia lainnya, yang secara geografis lebih dekat sehingga mengurangi biaya dan risiko pengiriman. Sekitar 40% sisa produk memasuki pasar Eropa dan Timur Tengah yang selain memiliki jarak lebih jauh dan risiko pengiriman lebih tinggi, juga tuntutan standar kualitas lebih ketat (Gambar 2).
Gambar 2 Volume dan Negara Tujuan Ekspor Pelat Baja Tahun 2019
Semua pencapaian luar biasa ini mengukuhkan produsen pelat baja nasional sebagai pemain di pasar global.
Tinjauan Strategi ke Depan: Ekspor Pelat Baja Indonesia
Dengan mendasarkan pada kemampuan pasok dan kualitas produk, produsen pelat baja nasional telah mampu memenuhi harapan dan syarat yang ditentukan oleh konsumen, baik domestik maupun internasional. Kinerja ekspor pelat baja tersebut patut dijaga.
Namun demikian, dengan mempertimbangkan utilisasi pabrik dan pertumbuhan volume impor selama lima tahun terakhir, ada beberapa poin penting yang tetap menjadi catatan. Pertama, utilisasi pabrik dalam kurun waktu lima tahun terkini masih berkisar 65-70%. Hal ini belum menunjukkan kinerja yang optimal. Kedua, perkembangan volume impor masih menunjukkan tren yang cukup tinggi—dengan pertumbuhan mencapai 14% setiap tahunnya—terutama disebabkan oleh volume impor yang menuju ke Kawasan Bebas Batam (Gambar 3).
Gambar 3 Volume Impor Pelat Baja ke Kawasan Bebas Batam
Untuk itu, strategi ekspor pelat baja ke depan perlu lebih diperhatikan dan dilakukan perubahan agar produsen pelat baja nasional dapat menggantikan impor (import substitution) pelat baja, terutama destinasi impor menuju ke Kawasan Bebas Batam yang seharusnya dapat dipenuhi oleh produsen pelat baja nasional. Hal ini menjadi penting karena mengganti pelat baja impor dengan pelat baja buatan dalam negeri dapat memperbaiki defisit neraca perdagangan dan mengurangi beban permintaan mata uang dolar, yang nantinya akan membantu memperkuat nilai tukar rupiah.
Dari sisi produsen pelat baja nasional, hal tersebut akan mendorong produktifitas sehingga tingkat utilisasi pun meningkat. Kondisi ini menjadi sulit diwujudkan karena produsen pelat baja nasional masih bergelut dengan praktik perdagangan curang (unfair trade), dalam konteks ini praktik dumping, di Kawasan Bebas Batam. Dukungan pemerintah sangat penting agar penerapan trade remedies di Kawasan Bebas Batam dapat dilakukan sebagaimana wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia lainnya.