• The Indonesian Iron & steel
    Industry Association
Member Area
  • Home
  • About
    • Visi & Misi
    • Sejarah
    • Organisasi
    • Program Utama
  • Member
  • Information
    • Berita
    • Presentasi
    • Publikasi
  • Event
    • Acara Mendatang
    • Acara Terdahulu
  • Advertising
  • Contact
  • Katalog Baja
  • Home
  • Berita
  • Penguatan Ekosistem Industri Baja Nasional untuk Menghadapi Dinamika Pasar Global - Pemerintah Perlu Segera Turun Tangan untuk Melindungi Industri Baja Nasional
Market 09 October 2024

Penguatan Ekosistem Industri Baja Nasional untuk Menghadapi Dinamika Pasar Global - Pemerintah Perlu Segera Turun Tangan untuk Melindungi Industri Baja Nasional

Penguatan Ekosistem Industri Baja Nasional untuk Menghadapi Dinamika Pasar Global - Pemerintah Perlu Segera Turun Tangan untuk Melindungi Industri Baja Nasional
Sumber: IISIA

Pada tanggal 25-26 September 2024, IISIA didukung Krakatau Posco mengadakan seminar yang bertema “Penguatan Ekosistem Industri Baja Indonesia yang Berdaya Saing dan Ramah Lingkungan” dan “Respon Strategis Terhadap Dinamika Baja Global”. Seminar ini dilaksanakan di Hotel Hilton Bali Resort, Bali, Indonesia, dan mengundang perwakilan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), serta produsen baja nasional untuk berdiskusi.

Seminar dibuka dengan pemaparan tentang supply-demand industri baja global dan nasional oleh Direktur Eksekutif IISIA, Widodo Setiadharmaji. Industri baja saat ini menghadapi tantangan berat karena kelebihan kapasitas yang sangat besar. Pada tahun 2022, kelebihan kapasitas global mencapai 632 juta ton, dan OECD memperkirakan tambahan kapasitas sebesar kurang lebih 158 juta ton akan terjadi pada periode 2024-2026, yang akan memperburuk kelebihan kapasitas tersebut. Hal ini berdampak pada peningkatan ekspor baja global secara signifikan, yang akhirnya merugikan industri baja di negara-negara tujuan ekspor. Di sisi lain, perlambatan ekonomi dan memburuknya pasar properti di Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir telah melemahkan permintaan baja domestik. Banyak produsen baja di Tiongkok mengalami kerugian, termasuk Angang Steel, produsen baja terbesar kedua di Tiongkok, yang mencatat kerugian selama 8 kuartal berturut-turut. Selain itu, Chairman Baowu, produsen baja terbesar dunia, memperingatkan bahwa industri baja sedang menghadapi krisis yang lebih berat dibandingkan krisis baja di tahun 2008 dan 2015. Kondisi pasar yang buruk ini memaksa produsen baja di Tiongkok untuk menjual produk baja sebanyak mungkin hanya demi bertahan hidup. Bahkan, mereka bersedia menjual dengan harga sangat rendah hingga mengalami kerugian dengan melakukan praktik dumping ke pasar baja global. Tercatat ekspor Tiongkok naik dari 66,38 juta ton pada 2022 menjadi 92,28 juta ton pada 2023, atau meningkat sebesar 39%. Sementara itu, ekspor Tiongkok pada 7 bulan pertama tahun 2024 naik menjadi 61,5 juta ton dari 51,9 juta ton pada periode yang sama tahun sebelumnya. Diperkirakan, ekspor Tiongkok akan melebihi 100 juta ton pada 2024.

Peningkatan ekspor baja Tiongkok telah memicu proteksionisme di berbagai negara. Tindakan ini diambil untuk melindungi pasar domestik masing-masing negara dari banjir impor baja murah Tiongkok dan menjaga keberlanjutan industri baja nasionalnya. Negara maju seperti Amerika Serikat telah menetapkan tarif sebesar 25% untuk impor baja melalui Section 232, Trade Expansion Act of 1962 pada masa pemerintahan Presiden Trump. Kemudian di era pemerintahan Presiden Biden, tarif impor baja dari Tiongkok dinaikkan dari 0-7,5% menjadi 25% melalui Section 301, Trade Act of 1974. Selain itu, pemerintah AS juga bekerja sama dengan pemerintah Meksiko untuk menerapkan tarif impor sebesar 25% terhadap produk baja yang masuk ke AS melalui Meksiko, kecuali baja tersebut dilebur dan dicetak di Amerika Utara. Kebijakan bertujuan untuk mencegah penghindaran tarif impor produk baja dari Tiongkok. Lebih lanjut, Meksiko menetapkan tarif hampir 80% untuk beberapa impor baja impor, serta tarif sebesar 5-25% untuk negara-negara non-FTA. Kanada juga berencana mengikuti langkah ini dengan memberlakukan tarif sebesar 25% untuk impor produk baja dari Tiongkok, guna mencegah pengalihan pasar produk baja Tiongkok akibat kebijakan perdagangan yang diambil oleh mitra dagangnya. Sebelumnya, Brasil telah menaikkan tarif impor menjadi 25% dari sebelumnya 9-12,5% untuk beberapa produk baja. Di sisi lain, Uni Eropa menerapkan tariff rate quota untuk produk baja, di mana impor yang melebihi kuota akan dikenakan bea masuk sebesar 25%. Uni Eropa juga akan menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang mulai berlaku pada tahun 2026. Negara-negara di Asia, seperti India juga mulai melindungi pasar domestiknya dengan menaikkan bea masuk baja dari 7,5% menjadi 10-12%. Industri baja di Jepang dan Korea juga meminta perlindungan pemerintah dari masuknya produk baja dumping asal Tiongkok.

Meningkatnya proteksionisme global menyebabkan ekspor Tiongkok ke banyak negara terhambat oleh instrumen trade remedies dan proteksi lainnya. Indonesia berpotensi mengalami banjir impor produk dumping dari Tiongkok karena penggunaan instrumen trade remedies yang minim, tertinggal dari negara-negara maju seperti AS, Kanada, UE, bahkan Thailand. Bimakarsa Wijaya, Direktur Komite Analisis & Basis Data Industri Baja IISIA, dalam paparannya menyatakan bahwa ekspor Tiongkok meningkat ke negara-negara dengan proteksi rendah, sedangkan ekspor ke negara-negara dengan proteksi tinggi seperti UE dan Amerika Utara justru menurun. Selama 7 bulan pertama 2024, ekspor baja Tiongkok ke Asia Tenggara meningkat sebesar 29% yoy menjadi 18,8 juta  ton; ke Timur Tengah dan Afrika meningkat sebesar 19% yoy menjadi 17,6 juta ton; ke Asia Timur meningkat sebesar 7% yoy menjadi 7,9 juta ton; ke Asia Selatan meningkat sebesar 40% yoy menjadi 3,9 juta ton; ke negara-negara Commonwealth of Independent States (CIS) meningkat sebesar 19% yoy menjadi 1,5 juta ton; dan ekspor ke Asia Pasifik meningkat sebesar 26% menjadi 0,6 juta ton. Di sisi lain, ekspor ke UE dan Amerika Utara masing-masing turun sebesar 6% yoy menjadi 2,5 juta ton dan 1,6 juta ton. Asia Tenggara menjadi tujuan utama ekspor produk baja Tiongkok, dan Indonesia terdampak oleh kenaikan ekspor ini. Pada periode Januari-Juli 2024, volume ekspor Tiongkok ke Indonesia meningkat sebesar 34% yoy dari 2,23 juta ton menjadi 2,98 juta ton. Sementara itu, volume ekspor pada tahun 2022 mencapai 2,89 juta ton dan naik menjadi 4,15 juta ton pada tahun 2023, atau tumbuh sebesar 43,4%. Potensi banjir produk baja dumping dari Tiongkok semakin besar karena beberapa instrumen trade remedies yang diterapkan Indonesia telah habis dan akan habis masa berlakunya. Saat ini, terdapat kasus anti dumping untuk 3 produk baja yang masih dalam proses sunset review. Ketiga produk tersebut adalah I & H section yang berasal dari Tiongkok; hot rolled coil yang berasal dari Tiongkok, India, Rusia, Kazakhstan, Belarusia, Taiwan, dan Thailand; serta hot rolled plate yang berasal dari Tiongkok, Singapura, dan Ukraina. Selain itu, safeguard untuk produk I & H section alloy akan segera habis masa berlakunya pada Desember 2024. Pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk melindungi industri baja nasional dari baja dumping Tiongkok agar tidak mengalir ke pasar Indonesia, terutama karena pasar negara lain sudah dilindungi dengan berbagai instrumen oleh pemerintah masing-masing. Jika langkah tersebut tidak segera diambil maka Indonesia akan menghadapi banjir produk baja dumping Tiongkok dengan harga rendah yang mengakibatkan produsen baja nasional kehilangan pasar domestik hingga merugi bahkan bangkrut. Selain ancaman dumping dari Tiongkok, pasar domestik juga menghadapi masalah kelebihan kapasitas. Kondisi ini disebabkan oleh investasi Tiongkok untuk membangun fasilitas produksi baja karbon di Indonesia. Investasi ini mengakibatkan kapasitas produksi baja nasional melonjak jauh melebihi pertumbuhan permintaan domestik. 

Dalam sambutannya, Yosef Danianta Kurniawan, mewakili Direktur Industri Logam, Kementerian Perindustrian, menyatakan bahwa Kementerian Perindustrian bertekad untuk terus menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui berbagai program dan kebijakan strategis. "Upaya tersebut antara lain melalui optimalisasi pengendalian impor, penerapan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), verifikasi kemampuan industri baja nasional, promosi investasi produk baja, pengenaan tarif maupun tindakan non-tarif, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), serta pemberian fasilitas fiskal dan non-fiskal," ujarnya. Lebih lanjut selama diskusi, Sri Bimo Pratomo, Kepala PPPPSI, Badan Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BSKJI), menyatakan, “Banyak produk baja yang belum terdaftar dalam Standar Nasional Indonesia, tetapi kami berencana untuk menstandardisasi produk tersebut guna meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.” Selain melalui SNI, pemerintah juga berupaya mengurangi impor dan meningkatkan penggunaan produk baja dalam negeri melalui kebijakan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negari (P3DN). Nicodemus, Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menegaskan bahwa, “Produk yang tidak memenuhi standar tidak boleh digunakan dalam proyek konstruksi yang menjamin keselamatan publik, dan kami akan terus mempromosikan penggunaan produk dalam negeri dalam proyek konstruksi nasional.” IISIA berharap pemerintah terus melanjutkan kebijakan ini dan segera mengambil langkah-langkah tegas untuk melindungi pasar domestik dari produk baja dumping asal Tiongkok. Perlindungan ini bisa dilakukan melalui penerapan instrumen trade remedies maupun dengan peningkatan bea masuk, seperti halnya diterapkan untuk komoditas tekstil dan barang tekstil, pakaian jadi, barang tekstil sudah jadi, alas kaki, produk kecantikan, keramik, dan perangkat elektronik. Selain itu, pemerintah juga perlu segera melakukan moratorium investasi pada sektor yang mengalami kelebihan kapasitas. Investasi baru hanya diijinkan di sektor-sektor yang kapasitas nasionalnya belum memadai, seperti untuk special steel, electrical steel, dan railways.

Seminar ini menghadirkan beberapa pembicara, termasuk dari Kementerian Perindustrian yang diwakili oleh Kepala PPPSI, Sri Bimo Pratomo. Beliau membahas tentang pentingnya standardisasi sektor industri baja dan persyaratan agar SNI menjadi wajib. Tujuan dari standardisasi ini adalah untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, dan daya saing nasional; mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan transparan; memberikan kepastian usaha; mendorong inovasi dan pengembangan teknologi; meningkatkan perlindungan kepada konsumen dari aspek K3L; dan meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan di dalam negeri dan internasional. Saat ini, terdapat 329 SNI yang masih berlaku untuk produk baja. Sementara itu, Kim Jinju dari Departemen Perdagangan POSCO menyampaikan tren kebijakan perdagangan global. Salah satu kebijakan yang dibahas adalah Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang merupakan regulasi karbon internasional pertama yang diberlakukan secara wajib. CBAM ini mendorong negara-negara lain untuk menerapkan kebijakan serupa, seperti AS yang sedang mengusulkan beberapa regulasi terkait: (1) Clean Competition Act, yang mengatur pajak karbon sebesar $55 per metrik ton pada barang-barang produksi dalam negeri dan impor. (2) Foreign Pollution Fee  Act, yang menetapkan tarif pada barang impor dengan intensitas karbon lebih tinggi daripada yang diproduksi di AS. (3) PROVE IT Act, yang menginstruksikan Departemen Energi AS untuk menyelidiki intensitas emisi gas rumah kaca di AS dan negara lain. (4) Steel Modernization Act, yang memberikan insentif untuk produksi baja ramah lingkungan dan mengenakan tarif karbon pada impor baja dengan intensitas karbon tinggi. Selain regulasi karbon, kebijakan lain yang membatasi perdagangan baja berdasarkan negara asal juga mulai diterapkan dan akan diperluas secara global, kebijakan ini juga terkait dengan regulasi lingkungan seperti CBAM. Dalam proses produksi baja, peleburan dan penuangan merupakan penyumbang utama emisi karbon. Beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan ini antara lain AS, Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa.

Kementerian Perdagangan melalui Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI), juga memberikan pemaparan yang disampaikan oleh Adji Mukti, Investigator KADI, yang mewakili Ketua KADI. Ia membahas tentang kerangka regulasi trade remedies, proses penyelidikan, serta mekanisme dan bentuk pengenaan bea masuk untuk melindungi industri baja nasional. Hingga saat ini, KADI telah melakukan 91 penyelidikan, dengan 51 di antaranya dikenakan BMAD. Dari total penyelidikan tersebut, 42% atau sekitar 38 kasus terkait produk baja, dengan 22 kasus dikenakan BMAD dan 7 kasus masih dalam proses pengenaan di Kementerian Keuangan. Sementara itu, Nicodemus Daud, Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menjelaskan perkembangan proyek-proyek nasional dan kebijakan yang mendukung penggunaan produk dalam negeri. Diestimasikan kebutuhan sumber daya material dan peralatan konstruksi di Kementerian PUPR tahun anggaran 2024 dan 2025 untuk produk baja masing-masing adalah 1,27 juta ton dan 1,12 juta ton. Berdasarkan target roadmap P3DN Kementerian PUPR tahun 2023-2026, porsi impor akan dikurangi menjadi 4% dari pagu anggaran pada tahun 2026. Lebih lanjut, Kim Sungjin, Steelmaking Technology Team Leader, Krakatau Posco menjelaskan peta jalan netral karbon. Selain itu, Krakatau Posco juga memperkenalkan berbagai produk unggulan seperti baja tahan gempa, baja tahan cuaca (dirancang untuk menahan korosi atmosfer), dan baja tarik tinggi dengan kekuatan tarik 570 MPa, serta menekankan perlunya mengurangi impor baja murah demi melindungi keselamatan konsumen dan mendukung produk dalam negeri.

Dalam jangka pendek, pemerintah perlu segera melindungi industri baja nasional dari serbuan baja impor dari Tiongkok. Tanpa campur tangan pemerintah, industri baja nasional akan sulit untuk bertahan dan berpotensi merugi serta mengalami kebangkrutan. Forum ini diharapkan dapat memperkuat kerja sama antara pemerintah dan perusahaan baja nasional untuk menjaga keseimbangan pasar domestik dan menghadapi tantangan besar ke depannya. Kolaborasi yang erat menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan serta meningkatkan daya saing industri baja nasional. 

***

Back
Archive
Archive
  • Show All
  • 2024
  • 2023
  • 2022
  • 2021
  • 2020
  • 2025
Category
  • Environment
  • Policies
  • Technology
  • Investment
  • IBF Event
  • News Update
  • Event
background-img
Membership Only
Halaman ini hanya dapat diakses oleh anggota. Silakan hubungi admin untuk mendapatkan akses atau login untuk membaca selengkapnya.

Sudah menjadi member ? Masuk :{link} disini

The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA)

The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) adalah organisasi industri besi dan baja yang berupakan peleburan dari beberapa asosiasi besi dan baja dari hulu ke hilir dan setelah diresmikan pada tahun 2009.

Member Of
Quick Links
  • Sejarah IISIA
  • Sponsor
  • Acara Mendatang
  • Berita
  • Anggota
  • Kontak
  • Katalog Baja
  • Monitoring Ex-Im
Our Partners
  • SEASI
  • KADIN Indonesia
  • IPERINDO
  • REI
  • GAPEKSINDO
  • INKINDO
  • ASPEKNAS
IISIA News
Our Office
  • Gedung Krakatau Steel Lt 9 Jl. Jend. Gatot Subroto Kav 54 Jakarta Selatan 12950
  • 0811-8806-3300 (Whatsapp)
  • info@iisia.or.id, ironsteel.iisia@yahoo.co.id
2008 - 2025, All Rights Reserved.